Kisah sukses warung ayam geprek pertama di Jogja, karena pesanan yang sepele dan kebingungan dalam penamaan menunya
PelangiQQ - Ruminah telah berjualan ayam goreng sejak tahun 2003, berawal dari seorang pelajar yang memesan makanan tanpa mengetahui nama menunya.
Kisah sukses warung ayam geprek pertama di Jogja, karena pesanan yang sepele dan kebingungan dalam penamaan menunya
Kisah sukses warung ayam geprek pertama di Jogja, karena pesanan yang sepele dan kebingungan dalam penamaan menunya |
Cara Menjaga Kualitas Rasa
Agar cita rasa makanan yang dijual tetap lezat, setiap hari Bu Rum dibantu oleh anak-anaknya memasak sendiri sayur-sayuran dan ayam untuk dijual. Tidak ada pegawai yang membantu di dapur, semuanya dilakukan secara gotong royong oleh pihak tersebut
“Kalau pagi itu masak nasi dan sayur, itu sudah matang. Nenek (kalau tidak) anak dan mertua yang masak. Jadi tidak peduli (mengandalkan) harus masak. Karena nanti rasanya tetap terjaga. ." jelas Bu Rum. Bumbu tumbuk di Bu Rum sendiri bisa dibilang sederhana. Hanya cabai, bawang merah, garam, MSG (penyedap rasa). Tidak ada resep paten atau rahasia dari Bu Rum, tapi semuanya dibuat sendiri lalu dijual.
Kisah sukses warung ayam geprek pertama di Jogja, karena pesanan yang sepele dan kebingungan dalam penamaan menunya |
“Semua bumbunya kita buat sendiri, termasuk toppingnya, kecuali kejunya masih kita beli. Kalau toppingnya semua orang bisa, itu tidak akan dipatenkan,” ujarnya.
Kisah sukses warung ayam geprek pertama di Jogja, karena pesanan yang sepele dan kebingungan dalam penamaan menunya |
Kelezatan ayam goreng Bu Ruminah juga diakui oleh dua pembeli bernama Khansa Nabila dan Ida Setyaningsih. Keduanya sudah makan sejak masih mahasiswa. Kedua pembeli ini bahkan punya menu favorit masing-masing saat makan di warung Geprek Bu Rum.
"Ayamnya dilumatkan setengah cabai karena saya kurang suka pedas. Kalau saya makan dada yang dihaluskan, enak banget," ujar Khansa.
Hal senada juga diungkapkan pembeli lainnya, Ida, “Enak, empuk, sambal ijo menurutku tidak terlalu pedas padahal aku masih bisa mengocok 15 cabai atau ngemil di atasnya.”
Meski saat itu warung makan Bu Rum selalu ramai, namun pelayanannya cukup cepat. Seporsi ayam goreng Bu Rum dibanderol dengan harga Rp 14.000. Namun pembeli bisa mengambil nasi dan sayur sepuasnya karena sistem yang digunakan adalah prasmanan. Setiap pelanggan yang datang bisa langsung mengambil piring, nasi dan bagian ayam apa saja yang ingin digoreng.
Per hari 90 kg ayam dan 3 kg cabai
Baca Juga :
Sambil mengenang masa lalu, Bu Rum menceritakan bahwa dalam sehari ia bisa menumbuk ayam sebanyak 60 kilogram. Meski persaingannya sedikit, ayam yang dihasilkan bisa mencapai 80-90 kilogram sehari. Namun kini setiap gerai hanya memasak 30 kilogram ayam per hari.
“Waktu ibu saya masih segar (muda), sehari saya bisa meremukkan ayam 60 kilo. Nanti kalau 1 jam 2 sudah habis, saya tambah lagi. Kadang sehari bisa 80-90 kg. Tapi itu kan hanya satu toko. Tapi karena saya buka banyak cabang, seharinya dikurangi menjadi 30 kilo ayam,” lanjut Bu Rum.
Kisah sukses warung ayam geprek pertama di Jogja, karena pesanan yang sepele dan kebingungan dalam penamaan menunya |
setiap pembeli yang meminta lebih dari 5 cabai akan dikenakan biaya. “Jadi kalau harga cabai naik, kami akan dikenakan biaya. Ini bukan untuk kami jual cabai, tapi untuk memudahkan (pemulihan modal). ." jelasnya.
Kisah sukses warung ayam geprek pertama di Jogja, karena pesanan yang sepele dan kebingungan dalam penamaan menunya
Bagi orang luar, kesuksesan Bu Rum mungkin tampak mudah dicapai. Namun dibalik itu, butuh waktu dan kerja keras Ruminah untuk bisa membuat warung ayam gepreknya sebesar sekarang. Bukan hanya persaingan yang kini semakin ketat. Selama pandemi, 6 gerai ayam goreng miliknya harus tutup selama 3 bulan.
Kisah sukses warung ayam geprek pertama di Jogja, karena pesanan yang sepele dan kebingungan dalam penamaan menunya |
Belum lagi jika harga kebutuhan pokok naik, seperti cabai, beras, tepung terigu, minyak, dan lain sebagainya. Hal ini membuat Bu Rum dilema apakah akan menaikkan harga atau tidak. Pasalnya Bu Rum mengaku banyak konsumen yang mengeluh meski hanya kenaikan Rp. 500.
Tantangan lain yang dihadapi Ibu Ruminah selaku pemilik saat ini adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang dirasa kurang maksimal dalam bekerja. “Dulu pegawainya cuma 3 mbak. Tiga di antaranya sudah multitasking ya nek, jaman biyen ki (jaman dulu). Kalau semua ini baru, makanya dimanja. menjadi membosankan (lelah). kata Bu Rum.
Post a Comment